Alt/Text Gambar
" PROMO MENARIK : Anda membutuhkan Kusen,Jendela,daun pintu juga daun jendela · Daerah JABODETABEK dan luar => Hub: P.Bambang WA : 081.599.41.990 "!!!"Bahagiakan orangtuamu selagi waktu masih mengijinkannya # Suara Artama @ Saat kamu yakin tak bisa, berdoa berdoa dan berdoa lah. Karena mukjizat bisa dapat kapan saja

Berjabat Tangan


SALAMAN memiliki nilai yang tinggi dalam interaksi sesama manusia, sebagai lambing persahabatan dan persaudaraan. Setiap kali bertemu dengan orang yang sudah kita kenal kita bersalaman, sebagai adab sopan santun. Begitu juga saat kita berkenalan dengan seseorang, selalu diawali dengan salaman. Bahkan dalam ajaran Islam, salaman ini termasuk salah satu sunnah, perbuatan yang dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah. Kata beliau, setiap kali bersalaman, maka rontoklah dosa atau kesalahan diantara mereka berdua.
Tak heran bila dalam bersalaman ada yang menggenggam tangan dengan sangat erat sambil diguncang-guncang. Kedua tangan bersalaman saling menggenggam dengan erat. Tapi tak sedikit orang bersalaman seperti ogah-ogahan, telapak tangan hanya sekedar nempel di telapak tangan lawan salamannya dan cepat-cepat dicabut. Ada yang bersalaman dengan sangat antusias dan akrab, tapi tak sedikit yang bersalaman dengan ogah-ogahan, bahkan sambil nyambi melakukan pekerjaan lain. Yang lebih parah, saat bersalaman wajahnya mlengos sambil bicara dengan orang lain, atau memandang sesuatu. Bagaimana rasanya bila Anda berniat salaman dengan sungguh-sungguh, tapi lawan salaman Anda tidak memandang kepada Anda ? Ah, tentu tidak enak rasanya.
Banyak alasan mengapa orang melakukan diskriminasi dalam salaman. Tapi kebanyakan menyangkut gengsi. Kalau kita punya acara, kemudian kedatangan tamu pejabat, tentu kita akan menyambut dengan penuh kehangatan dan jabat tangan sangat erat. Sebaliknya, kalau tamunya itu orang biasa-biasa saja, penyambutan pun standar biasa, bahkan kalau tamunya berada di bawah ‘’biasa-biasa saja’’ penyambutan akan semakin dingin. Tak jarang, model penyambutan seperti ini menyakitkan hati bagi yang menerimanya.
Seperti yang dirasakan oleh Abu Nuwas, tokoh dalam legenda 1001 malam yang kesohor itu. Suatu saat dia datang ke kondangan yang banyak dihadiri oleh para petinggi. Sambutan kepada mereka tentu sangat luar biasa, disalami dengan erat, disambut dengan hangat dan diantarkan duduk ke kursi VIP yang empuk. Tiba saatnya Abu Nuwas datang – dengan memakai pakaian yang biasa saja, bahkan terkesan tidak pantas dikenakan dalam pesta yang wah itu – para penerima tamu menyambutnya dengan biasa. Bahkan ada yang menyalami sambil mlengos memandang atau berbicara dengan orang lain di samping.
Merasa sakit hati Abu Nuwas kemudian pulang dan meminjam pakaian terbaik milik tetangganya dan kembali ke tempat pesta. Ternyata benar, kini sambutan untuk dia berubah ; hangat penuh hormat, akrab dan jabat tangan yang sangat erat. Setelah dipersilakan duduk, tibalah saatnya makan malam. Seperti tamu yang lain, Abu mengambil makanan yang sangat lezat itu, tapi makanan itu tidak dimakannya. Satu porsi makanan dimasukkan ke saku kiri jasanya, satu porsi lagi dimasukkan di saku kanan, satu porsi lagi di saku kanan celan, begitu juga dengan saku kiri celananya. Akhirnya hampir sekujur tubuhnya belepotan makanan dan minuman.
Para hadirin pun heran, apakah Abu sudah gila ? ‘’Kalian tahu kenapa aku lakukan semua ini,’’ tanyanya. ‘’Ya, yang kalian undang ke sini bukan saya, tapi busana saya. Kalian lebih menghormati apa yang saya kenakan daripada saya sendiri. Karena yang diundang adalah busana saya, maka dialah yang berhak atas semua jamuan yang disediakan,’’ lanjutnya. Apa yang dialami Abu Nuwas adalah cerita keseharian. Kita sering terkagum-kagum dengan seseorang karena penampilannya yang bagus, busana yang mewah, merek terkenal dan tentu saja harganya mahal. Itu bisa dimaklumi, karena sebagian kita masih menganut formalitas bukan substansi. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan formalitas, tapi kita sering tidak adil dalam memaknai busana.
Untuk acara yang bersifat keduniaan kita berusaha tampil sebagus mungkin, kalau bisa paling bagus diantara yang hadir. Tapi ketika kita menghadap Tuhan, busana yang kita kenakan seadanya, bahkan sebenarnya tidak pantas kita kenakan saat berinteraksi dengan sesama manusia. Saya sering menjumpai seorang pria yang salat di masjid mengenakan busana sekenanya, kaus singlet dengan sarung yang sudah beberapa pekan tidak dicuci. Padahal tuntunan Rasulullah menyebutkan, kalau kita ke masjid harus mengenakan busana terbaik dengan wewangian yang harum. Ajaran ini yang sering kita abaikan, seolah-olah menghadap Tuhan itu boleh berbusana apa saja, sementara kalau menghadap orang yang di atas kita, harus mengenakan busana yang bagus. Kalau menghadap manusia saja kita mengenakan busana yang bagus, mengapa saat menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa kita tidak memakai busana yang bagus juga ? Coba, Jumatan nanti kita pakai pakaian yang bagus dan jangan lupa pakai parfum yang wangi.

=>Di olah dari berbagai sumber.

Auto backlink

Ingin Link anda nonggol disini silahkan copy paste link dibawah ini ke blog anda setelah itu klik link ini dari blog anda dan lihat hasilnya link anda otomatis nempel disini selamanya
Sistema Enlaces Reciprocos