
Tidak sedikit kaum muslimin yang sering bolong
shalatnya, terutama barangkali shalat Shubuh. Atau mungkin saja ada yang shalat
hanya ketika Jumatan saja, sekali sepekan. Atau yang lebih parah lagi jika
setahun sekali. Artikel ini akan merinci mengenai hukum meninggalkan shalat.
Semoga bermanfaat.
Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca:
ijma’) bahwa dosa meninggalkan shalat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa
besar lainnya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, ”Kaum
muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah
dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh,
merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang
yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta
mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha,
Ibnul Qayyim, hal. 7)
Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat,
kami dapat rinci sebagai berikut:
Kasus pertama: Meninggalkan shalat dengan
mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat
oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat
juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum
wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di
antara para ulama.
Kasus kedua: Meninggalkan shalat dengan
menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak
untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan
kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq,
mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.
Contoh hadits mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir)
adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR.
Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, shahih)
Kasus ketiga: Tidak rutin dalam melaksanakan
shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim
secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq
bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini
hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman
baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya]. (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
Kasus keempat: Meninggalkan shalat dan tidak
mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang
semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah
dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor
penghalang untuk mendapatkan hukuman.
Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga
keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan
di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan
perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda
Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Abdul Mun’im Salim, hal. 189-190)
Nasehat Berharga: Jangan Tinggalkan Shalatmu!
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob radhiyallahu
‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya di antara
perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat,
berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk
amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi
orang yang meninggalkan shalat.“ (Ash Sholah, hal. 12)
Imam Ahmad rahimahullah juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap
orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama”.
Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima
waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang
betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba
Allah. Waspadalah! “Janganlah engkau
menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam
dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Ash Sholah, hal.
12)
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar
membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman
hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum
sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka
meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu
mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“ (Ash
Sholah, 35-36)
Wallahu waliyyu taufiq was
sadaad.
Sumber : remajaislam