Alt/Text Gambar
" PROMO MENARIK : Anda membutuhkan Kusen,Jendela,daun pintu juga daun jendela · Daerah JABODETABEK dan luar => Hub: P.Bambang WA : 081.599.41.990 "!!!"Bahagiakan orangtuamu selagi waktu masih mengijinkannya # Suara Artama @ Saat kamu yakin tak bisa, berdoa berdoa dan berdoa lah. Karena mukjizat bisa dapat kapan saja

keistimewaan puasa Arafah

Para Fuqaha bersepekat disunnahkan berpuasa di hari Arafah bagi orang yang tidak melaksanakan ibadah haji, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa dua tahun : setahun sebelumnya dan setahun yang akan datang.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa Nabi saw bersabda; ”Puasa pada hari Arafah, aku memohon pula kepada Allah, agar puasa itu bisa menghapus dosa setahun penuh sebelumnya dan setahun sesudahnya.”
Asy Syarbini al Khatib berkata,”Ia (hari Arafah) adalah sebaik-baik hari berdasarkan hadits Muslim, ‘Tidak ada satu hari pun yang di hari itu Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka daripada hari 'Arafah.”
Jumhur Fuqaha—kalangan Maliki, Syafi’i dan Hambali—berpendapat bahwa tidak dianjurkan (puasa Arafah) bagi seorang yang berhaji walaupun ia memiliki kekuatan dan puasa yang dilakukannya itu makruh menurut para ulama Maliki dan Hambali, sedangkan menurut Syafi’i hal itu menyelisihi keutamaan berdasarkan riwayat Ummu al Fadhl binti al Harits, ”Ummu Al Fadhl mengirimkan mangkuk yang berisi susu kepada beliau sementara beliau sedang berada di atas untanya di 'Arafah lalu beliau meminumnya.”
Dari Ibnu Umar bahwa beliau pernah berhaji bersama Nabi saw kemudian bersama Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman dan tidak satu pun dari mereka yang berpuasa.” Karena hal itu dapat melemahkannya tatkala wuquf dan berdoa maka meninggalkannya adalah lebih utama. Dan ada juga yang mengatakan bahwa hal itu dikarenakan mereka adalah tamu-tamu Allah dan peziarah-Nya.
Kalangan Syafi’i berkata,”Disunnahkan berbuka bagi seorang yang melakukan perjalanan (safar) dan orang yang sakit secara mutlak.”
Mereka berkata,”Disunnahkan berpuasa bagi seorang yang berhaji yang tidak sampai ke Arafah kecuali malam hari dikarenakan hilangnya sebab.”
Kalangan Hanafi berpendapat dianjurkan (puasa) juga bagi seorang yang berhaji apabila hal itu tidak melemahkannya ketika wuquf di Arafah dan tidak menggangunya dalam berdoa dan jika hal itu melemahkannya maka makruh baginya berpuasa. (al Mausu’ah al Fiqhiyah/udi)


Berqurban dan Tata Caranya
Istilah udlhiyyah adalah nama untuk hewan qurban yang disembelih pada Hari Raya Qurban, 10 Dzulhijjah dan hari-hari tasyriq, dengan tujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri pada Allah). Kata udlhiyyah juga terkadang digunakan untuk makna tadlhiyyah (berqurban atau melakukan qurban).
Udlhiyyah dengan menggunakan makna tadlhiyyah (melakukan ibadah qurban) hukumnya adalah sunah muakkad bagi setiap orang Islam, baligh, berakal dan mampu. Yang dimaksud mampu di sini adalah orang yang mampu melakukan ibadah qurban, dengan cara menyembelih hewan, bersamaan ia memiliki suatu kelebihan untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk dirinya dan orang yang wajib dinafkahinya, pada saat hari raya qurban dan pada hari tasyrik, yaitu pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Namun berqurban hukumnya dapat menjadi wajib apabila dinadzari. Misalnya jika seseorang berjanji akan berqurban jika ia berhasil mendapatkan prestasi tertentu.
Adapun hewan yang mencukupi dan sah digunakan berqurban adalah:
1. Domba (dlo'nu), apabila sudah berumur satu tahun sempurna dan memasuki tahun yang kedua.
2. Kambing kacang/jenis kecil (ma'zu), apabila sudah berumur dua tahun sempurna dan memasuki tahun yang ketiga.
3. Sapi, apabila sudah berumur dua tahun sempurna dan memasuki tahun yang ketiga.
Untuk satu ekor unta dan sapi itu mencukupi untuk qurbannya tujuh orang, sedangkan kambing itu hanya mencukupi untuk qurbannya satu orang. Satu orang yang berqurban dengan satu ekor kambing itu hukumnya lebih utama dibanding orang yang berqurban dengan seekor unta atau sapi yang digunakan berqurban secara musyarakah (persekutuan) untuk tujuh orang.
Ada beberapa hal yang menyebabkan hewan tidak sah digunakan berqurban, yaitu:
1. Hewan yang buta salah satu matanya
2. Hewan yang pincang salah satu kakinya, walaupun pincangnya itu terjadi ketika akan disembelih, yaitu ketika dirubuhkan dan ia bergerak dengan sangat kuat.
3. Hewan yang sakit. Seperti sakit yang tampak jelas yang menyebabkan kurus dan dagingnya rusak.
4. Hewan yang sangat kurus hingga menyebabkan hilang akalnya.
5. Hewan yang terputus sebagian atau seluruh telinganya.
6. Hewan yang terputus sebagian atau seluruh ekornya.
Sedangkan hewan yang pecah atau patah tanduknya itu sah digunakan berqurban, begitu pula hewan yang tidak memiliki tanduk.
Hewan qurban itu diperbolehkan disembelih mulai kira-kira lewatnya waktu yang cukup untuk melakukan dua rakaat dan dua khutbah yang cepat terhitung dari terbitnya matahari pada saat Hari Raya Idul Adha sampai terbenamnya matahari pada ahir hari tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Sedangkan waktu penyembelihan yang utama adalah ketika matahari kira-kira tingginya sudah ada satu tombak dalam pandangan mata pada saat hari Raya Idul Adha.

Ketentuan dalam Berqurban
Orang yang berqurban diharuskan melakukan niat berqurban ketika menyembelih atau menta'yin (menentukan hewannya) sebelum disembelih. Orang yang mewakilkan penyembelihan hewan qurban (muwakkil), maka sudah dianggap cukup niatnya, dan sudah tidak membutuhkan pada niatnya wakil (orang yang mewakili), bahkan apabila wakil itu tidak mengetahui bahwa muwakkil adalah orang yang berqurban itu juga dianggap cukup (sah).
Diperbolehkan bagi orang yang berqurban untuk menyerahkan niatnya pada orang Islam yang telah terkategori tamyiz, baik ia statusnya sebagai wakil atau bukan.
1. Bagi orang laki-laki hewan qurban sunnah disembelih sendiri, karena itba' (mengikuti pada Nabi)
2. Bagi orang perempuan sunnah untuk diwakilkan, dan sunah baginya menyaksikan penyembelihan yang dilakukan oleh wakilnya.
Bila qurbannya sunnah, bukan qurban yang nadzar, maka diperbolehkan baginya;
1. Sunah baginya memakan daging qurban, satu, dua atau tiga suap, karena untuk tabarruk (mencari berkah) dengan udlhiyyahnya.
2. Diperbolehkan baginya memberi makan (ith'am) pada orang kaya yang Islam
3. Wajib baginya menshadaqahkan daging qurban. Yang paling afdhal adalah menshadaqahkan seluruh daging qurban, kecuali yang ia makan untuk kesunahan.
4. Apabila orang yang berqurban mengumpulkan antara memakan, shadaqah dan menghadiahkan pada orang lain, maka disunahkan baginya agar tidak memakan di atas sepertiga, dan tidak shadaqah di bawah sepertiganya.
5. Menshadaqahkan kulit hewan qurban, atau membuatnya menjadi perabot dan dimanfaatkan untuk orang banyak, tidak diperbolehkan baginya untuk menjualnya atau menyewakannya.

Melakukan Qurban untuk Orang Lain
Tidak diperbolehkan bagi seseorang melakukan qurban untuk orang lain, tanpa mendapatkan izinnya, walaupun orangnya sudah mati. Hal ini akan menjadi boleh dan sah apabila mendapatkan izinnya, seperti permasalahan mayit yang telah berwasiat agar dilakukan qurban untuk dirinya, namun ada beberapa pengecualian yang tanpa memandang izinnya orang yang diqurbani, yaitu;
1. Qurban dari wali (orang yang mengurus harta seseorang) untuk orang yang tercegah tasharrufnya (hak untuk mengelola harta), seperti untuk orang gila yang ada dalam perwaliannya.
2. Qurban dari imam (pemimpin muslim) untuk orang-orang Islam yang diambilkan dari Baitul Mal (kas Negara). (dari berbagai sumber/udi)


Ketentuan dalam Menyembelih Hewan Qurban
Proses penyembelihan hewan qurban didahului dengan:
1. Membaca basmalah
2. Membaca Shalawat pada Nabi
3. Menghadap ke arah kiblat (bagi hewan yang disembelih dan orang yang menyembelih)
4. Membaca takbir 3 kali bersama-sama
5. Berdoa agar qurbannya diterima oleh Allah.

Syarat dalam pekerjaan menyembelih adalah memotong hulqum (jalan nafas) dan mari' (jalan makanan). Hal ini apabila hewannya maqdur (mampu disembelih dan dikendalikan)
Kesunnahannya:
a. Memotong wadajain (dua otot yang ada disamping kanan dan kiri)
b. Menggunakan alat penyembelih yang tajam
c. Membaca bismillah
d. Membaca shalawat dan salam pada Nabi Muhammad. Karena menyembelih itu adalah tempat disyari'atkan untuk ingat pada Allah, maka juga disyari'atkan ingat pada Nabi

Syarat orang yang menyembelih:
a. Orang Islam / orang yang halal dinikahi orang Islam
b. Bila hewannya ghoiru maqdur, maka disyaratkan orang yang menyembelih adalah orang yang bisa melihat. Dimakruhkan sembelihannya orang yang buta, anak yang belum tamyiz dan orang yang mabuk.

Syarat hewan yang disembelih:
a. Hewannya termasuk hewan yang halal dimakan
b. Masih memiliki hayatun mustaqirrah (kehidupan yang masih tetap), bukan gerakan di
ambang kematian kematian.
Syarat alat penyembelih:
Yaitu berupa sesuatu yang tajam yang bisa melukai, selain tulang belulang. (nu_online/udi)

Qurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal
Sebagian para ulama membenarkan dan membolehkan seseorang menyembelih hewan qurban untuk keluarganya yang telah wafat. Kalau pun ada berbedaan diantara mereka, maka sedikit saja permasalahannya. Bila seseorang semasa hidupnya pernah berwasiat untuk berkurban dari harta yang dimilikinya, maka semua mazhab menerimanya dan berpendapat bahwa berkurban untuk orang yang sudah meninggal itu syah.
Sedangkan bila inisiatif itu datang dari diri sendiri sebagai anaknya dan uangnya juga dari uang anaknya sendiri, maka para ulama sedikit berbeda pendapat. Fuqaha dari kalangan Al-Malikiyah mengatakan bahwa hal itu masih tetap boleh tapi dengan karahiyah (kurang disukai). Sebaliknya, kalangan fuqaha dari Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa hal itu boleh hukumnya. Artinya tetap syah dan diterima disisi Allah SWT sebagai pahala qurban.
Sebenarnya terkait dengan perbedaan pandangan di kalangan ulama tentang mengirimkan pahala ibadah kepada orang yang sudah wafat. Jumhur ulama umumnya menerima bahwa pahala yang dikirimkan kepada mayit di kubur itu bisa sampai. Terkecuali pendapat kalangan Asy-Syafi'iyah, mereka tidak menerima pandangan itu. Artinya, kalangan fuqaha Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa tidak bisa dikirim pahala kepada orang yang sudah wafat. Kecuali bila memang ada wasiat atau waqaf dari mayit itu ketika masih hidup.
Sedangkan dasar kebolehannya adalah bahwa dalil-dalil menunjukkan bahwa kematian itu tidak menghalangi seorang mayit bertaqaruub kepada Allah SWT, sebagaimana dalam masalah shadaqah dan haji. Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tapi belum sempat pergi hingga wafat, apakah saya harus berhaji untuknya?". Rasulullah SAW menjawab, "Ya pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya hutang kamu akan membayarkannya?. Bayarkanlah hutang kepada Allah karena hutang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan." (HR. Al-Bukhari).
Hadits ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah haji dengan dilakukan oleh orang lain memang jelas dasar hukumnya, oleh karena para shahabat dan fuqoha mendukung hal tersebut. Mereka di antaranya adalah Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Imam Asy-Syafi`i ra. dan lainnya. Sedangkan Imam Malik ra. mengatakan bahwa boleh melakukan haji untuk orang lain selama orang itu sewaktu hidupnya berwasiat untuk dihajikan.
Seorang wanita dari Khats`am bertanya, "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-nya untuk pergi haji, namun ayahku seorang tua yang lemah yang tidak mampu tegak di atas kendaraannya, bolehkah aku pergi haji untuknya ?" Rasulullah SAW menjawab,"Ya". (HR Jamaah).

Auto backlink

Ingin Link anda nonggol disini silahkan copy paste link dibawah ini ke blog anda setelah itu klik link ini dari blog anda dan lihat hasilnya link anda otomatis nempel disini selamanya
Sistema Enlaces Reciprocos