Saat
mengkaji mukjizat ilmiah (i’jaz ilmi) Alqur’an, kita harus meyakini
bahwa ia bukanlah kitab sains, kedokteran, teknik, astronomi, atau
kimia, tapi adalah kitab petunjuk bagi manusia. Namun, ketika Alqur’an
berbicara tentang manusia, tumbuhan, langit, bumi, atau alam semesta
ini, Alqur’an berbicara tentang hakikatnya. Karena yang dibicarakan
adalah hakikatnya, maka yang dijelaskan pasti akan sesuai dengan fakta
sebenarnya.
Setelah belajar, mengkaji, menemukan peralatan canggih untuk penelitian
ilmiah, manusia mampu mengungkap sedikit hakikat tersebut.
Hakikat yang
sudah dijelaskan Alqur’an sekian abad sebelumnya. Hal ini ditegaskan
Allah dalam Fushshilat ayat 53 – yang artinya, “Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan
pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Alqur’an itu
adalah benar.”
Mukjizat ilmiah Alqur’an telah terbukti pada langit, daratan, lautan,
proses penciptaan manusia, fungsi gunung, hakikat tumbuhan, hewan,
proses terjadinya hujan, dan sebagainya. Seiring dengan itu, muncul
ilmuan-ilmuan Muslim yang mengungkap mukjizat ilmiah Alqur’an ini. Sebut
saja misalnya Harun Yahya dari Turki, Zaghlul Najjar dari Mesir, Abdul
Majid az-Zindani dari Yaman, dan Zakir Naik dari India.
Sebagai contoh i’jaz ilmi itu antara lain tentang asal mula alam
semesta. Ilmu pengetahuan modern, ilmu astronomi, baik yang berdasarkan
pengamatan maupun berupa teori, dengan jelas menunjukkan bahwa pada
suatu waktu, seluruh alam semesta masih berupa ‘gumpalan asap’, yaitu
komposisi gas yang sangat rapat dan tak tembus pandang. Hal ini
merupakan prinsip yang tak diragukan lagi menurut standar astronomi
modern. Karena para ilmuwan sekarang pun dapat melihat pembentukan
bintang-bintang baru dari peninggalan ‘gumpalan asap’ semacam itu.
Mari kita perhatikan firman Allah dalam Alqur'an mengenai hal ini – yang
artinya, “Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu
masih merupakan asap.” (Fushshilat ayat 11)
Lebih lanjut, Alqur’an menegaskan, matahari dan bumi merupakan satu
kesatuan. Karena bumi dan langit di atasnya (matahari, bulan, bintang,
planet, galaksi dan lain-lain) terbentuk dari ‘gumpalan asap’ sama, maka
dapat ditarik kesimpulan, matahari dan bumi dulu merupakan satu
kesatuan. Kemudian mereka berpisah dan terbentuk dari ‘asap’ homogen
ini. Bagaimana dalam Alqur’an? Allah berfirman – yang artinya, “Dan
apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu
keduanya dulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya.” (Al-Anbiya:30)
Tak hanya pada udara, Alqur’an juga mengungkap rahasia-rahasia laut, di
antaranya tentang kegelapan di laut dalam. Saat ini, disebutkan dan
dijelaskan melalui gambar-gambar, bahwa antara 3 hingga 30 persen cahaya
matahari dipantulkan oleh permukaan laut. Selanjutnya, hampir semua
warna dari spektrum cahaya akan diserap secara berturut-turut pada 200
meter pertama, kecuali warna biru (Oceans, Elder dan Perneta, hal. 27).
Allah telah menegaskan dalam Alqur’an – yang artinya, “Atau seperti
gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di
atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang
tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat
melihatnya.” (QS. An-Nur: 40)
Kegelapan di dalam lautan dan samudera ditemukan sekitar kedalaman 200
meter ke bawah. Pada kedalaman ini, hampir-hampir tak ada cahaya lagi.
Di bawah kedalaman 1000 meter, tidak ada cahaya sama sekali. Manusia
tidak berkemampuan menyelam lebih dari kedalaman 40 meter tanpa bantuan
kapal selam atau peralatan khusus. Manusia tak akan bertahan tanpa
perlengkapan di bagian gelap dari lautan, semisal pada kedalaman 200
meter. Gelapnya kedalaman laut ini hanya diketahui oleh para ilmuwan di
masa sekarang melalui berbagai peralatan khusus. Sesuatu yang mustahil
dilakukan di zaman Nabi Muhammad. Ini membuktikan Alqur’an diturunkan
oleh Allah Yang Maha Mengetahui.
Lebih lanjut, kita dapat mengkaji mukjizat ilmiah Alqur’an ini dalam
karya-karya pakar i’jaz ilmi di atas. Intinya, dari beberapa contoh itu
dapat kita simpulkan: Pertama, tidak ada kontradiksi antara hakikat ilmu
pengetahuan dengan hakikat Alqur’an karena keduanya berasal dari satu
sumber, Allah SWT. Kedua, kemukjizatan ilmu pada Alqur’an memang tidak
memposisikan Alqur’an sebagai kitab sains, namun dapat memberikan
isyarat atau petunjuk untuk melakukan kajian lebih jauh terhadap
pengembangan sains.
Ketiga, Alqur’an adalah wahyu Allah, bukan karangan Nabi Muhammad.
Karena Alqur’an tersebut telah mengabarkan kepada kita tentang
fakta-fakta ilmiah yang kelak ditemukan dan dibuktikan oleh eksperimen
sains umat manusia, dan terbukti tidak dapat dicapai atau diketahui
dengan sarana kehidupan yang ada pada jaman Rasulullah. (*)
*) Penulis adalah dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Pengasuh Dialog
Kajian Tafsir di Radio Madina FM 99,8, Masjid Agung Jami’ Malang.