Setidaknya,
ada tiga kategori anak dalam Alqur’an. Pertama, anak sebagai cobaan
(fitnah) bagi orang tuanya. Allah berfirman – yang artinya,
“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di
sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15)
Maksud anak menjadi fitnah, menurut tafsir al-Thanthawi, adalah anak yang merepotkan dan membuat lalai orang tua, sehingga mengganggu ibadahnya. Pakar tafsir al-Alusi menjelaskan penyebabnya, yakni karena anak-anak itu membuat orang tuanya terjerumus dalam perbuatan dosa dan menemui hal-hal sulit. Dalam hadits riwayat Abu Na’im disebutkan: “Seseorang dihadapkan (pada Allah) pada hari kiamat, kemudian dikatakan, ‘Keluarganya memakan kebaikannya.”
Kedua, anak yang dapat menjadi musuh bagi orang tuanya sendiri. Allah berfirman, “Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu.” (TQS. At-Taghabun: 14).
Ayat ini menyebut “di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu”, karena tidak semua istri dan anak dapat menjadi musuh. Berbeda dengan ayat sebelumnya yang menyebut harta dan anak dapat menjadi fitnah. Alasannya, harta dan anak sedikit banyak pasti membuat “repot” dan melalaikan seseorang. Sedangkan istri tidak disebut sebagai fitnah, karena di antara mereka ada wanita-wanita shalihah yang menjadi pendukung suaminya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Dikatakan, wara-a kulli ‘azhimin imra-ah, di belakang pria agung, pasti ada seorang wanita (istri yang menyokongnya).
Agar anak tak jadi musuh, orang tua harus menunaikan kewajibannya yang sekaligus menjadi hak bagi sang anak. Dalam Islam, banyak teks dalil yang menunjukkan tanggung jawab orang tua ini. Allah berfirman – yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. Al-Tahrim: 6). “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132).
Rasulullah bersabda, “Seorang lelaki adalah pemimpin keluarganya dan ia bertanggung jawab terhadap orang yang dipimpinnya. Wanita adalah pemimpin di tengah rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap orang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). “Perintahlah anak-anakmu salat sedang mereka berusia tujuh tahun.” (HR. Ahmad)
Bila tugas dan kewajiban ini tidak ditunaikan, maka bisa saja anak menjadi musuh bagi orang tuanya, di dunia dan akhirat. Di dunia, ia sudah menampakkan diri dengan tidak mudah patuh dan sering menyusahkan orang tua. Sedang di akhirat, anak akan menjadi musuh sekaligus cobaan, ketika ia menuntut orang tuanya sendiri di hadapan Allah.
Al-Shaffat ayat 24-27 menjelaskan, orang-orang yang tidak saling tolong menolong dan saling menasihatkan dalam kebaikan, serta tidak mencegah yang lain agar tak masuk neraka, di akhirat akan saling berbantah-bantahan. Dalam kasus orang tua dan anak misalnya, orang tua membiarkan dan tak pernah memantau anaknya yang keluar malam. Orang tua membiarkan anaknya tidak mengaji, tidak salat, tidak berpuasa Ramadan. Mereka akan bermusuhan di akhirat dan menjadi fitnah. Namun berbeda bila orang tua sudah berusaha maksimal, seperti dalam kisah Nabi Nuh dan anaknya Kan’an.
Ketiga, anak sebagai penyenang hati (qurrata a’yun). Allah berfirman, “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).” (QS. Al-Furqon: 74)
Izzuddin Abdussalam dalam tafsirnya menjelaskan, yang dimaksud qurrata a’yun adalah istri dan anak yang taat dan shalih-shalihah saat masih di dunia, dan di akhirat akan menjadi penghuni-penghuni surga. Saat masih kecil, anak qurrata a’yun sudah ‘nurut’, berbakti pada orang tua dan taat menjalankan agamanya. Tentu anak yang demikian akan membuat senang hati orang tua. Apalagi ketika orang tua telah wafat, ia selalu mendoakannya. Anak-anak seperti itulah yang menjadi investasi dunia dan akhirat. Sungguh bahagia orang tua yang memilikinya. (*)
Maksud anak menjadi fitnah, menurut tafsir al-Thanthawi, adalah anak yang merepotkan dan membuat lalai orang tua, sehingga mengganggu ibadahnya. Pakar tafsir al-Alusi menjelaskan penyebabnya, yakni karena anak-anak itu membuat orang tuanya terjerumus dalam perbuatan dosa dan menemui hal-hal sulit. Dalam hadits riwayat Abu Na’im disebutkan: “Seseorang dihadapkan (pada Allah) pada hari kiamat, kemudian dikatakan, ‘Keluarganya memakan kebaikannya.”
Kedua, anak yang dapat menjadi musuh bagi orang tuanya sendiri. Allah berfirman, “Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu.” (TQS. At-Taghabun: 14).
Ayat ini menyebut “di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu”, karena tidak semua istri dan anak dapat menjadi musuh. Berbeda dengan ayat sebelumnya yang menyebut harta dan anak dapat menjadi fitnah. Alasannya, harta dan anak sedikit banyak pasti membuat “repot” dan melalaikan seseorang. Sedangkan istri tidak disebut sebagai fitnah, karena di antara mereka ada wanita-wanita shalihah yang menjadi pendukung suaminya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Dikatakan, wara-a kulli ‘azhimin imra-ah, di belakang pria agung, pasti ada seorang wanita (istri yang menyokongnya).
Agar anak tak jadi musuh, orang tua harus menunaikan kewajibannya yang sekaligus menjadi hak bagi sang anak. Dalam Islam, banyak teks dalil yang menunjukkan tanggung jawab orang tua ini. Allah berfirman – yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. Al-Tahrim: 6). “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132).
Rasulullah bersabda, “Seorang lelaki adalah pemimpin keluarganya dan ia bertanggung jawab terhadap orang yang dipimpinnya. Wanita adalah pemimpin di tengah rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap orang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). “Perintahlah anak-anakmu salat sedang mereka berusia tujuh tahun.” (HR. Ahmad)
Bila tugas dan kewajiban ini tidak ditunaikan, maka bisa saja anak menjadi musuh bagi orang tuanya, di dunia dan akhirat. Di dunia, ia sudah menampakkan diri dengan tidak mudah patuh dan sering menyusahkan orang tua. Sedang di akhirat, anak akan menjadi musuh sekaligus cobaan, ketika ia menuntut orang tuanya sendiri di hadapan Allah.
Al-Shaffat ayat 24-27 menjelaskan, orang-orang yang tidak saling tolong menolong dan saling menasihatkan dalam kebaikan, serta tidak mencegah yang lain agar tak masuk neraka, di akhirat akan saling berbantah-bantahan. Dalam kasus orang tua dan anak misalnya, orang tua membiarkan dan tak pernah memantau anaknya yang keluar malam. Orang tua membiarkan anaknya tidak mengaji, tidak salat, tidak berpuasa Ramadan. Mereka akan bermusuhan di akhirat dan menjadi fitnah. Namun berbeda bila orang tua sudah berusaha maksimal, seperti dalam kisah Nabi Nuh dan anaknya Kan’an.
Ketiga, anak sebagai penyenang hati (qurrata a’yun). Allah berfirman, “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).” (QS. Al-Furqon: 74)
Izzuddin Abdussalam dalam tafsirnya menjelaskan, yang dimaksud qurrata a’yun adalah istri dan anak yang taat dan shalih-shalihah saat masih di dunia, dan di akhirat akan menjadi penghuni-penghuni surga. Saat masih kecil, anak qurrata a’yun sudah ‘nurut’, berbakti pada orang tua dan taat menjalankan agamanya. Tentu anak yang demikian akan membuat senang hati orang tua. Apalagi ketika orang tua telah wafat, ia selalu mendoakannya. Anak-anak seperti itulah yang menjadi investasi dunia dan akhirat. Sungguh bahagia orang tua yang memilikinya. (*)
*) Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Pengasuh Dialog Kajian Tafsir di Radio Madina FM 99,8, Masjid Agung Jami’ Malang.