|
Isra’
Mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang
antarnegara dari Mekkah ke Palestina, dan penerbangan antariksa dari
Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sidratul Muntaha. Isra’ Mi’raj
adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu. Tentang caranya,
iptek tidak dapat menjelaskan. Tetapi bahwa Rasulullah SAW melakukan
perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah
logika yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang diceritakan dalam
hadits shahih.
Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk
memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi
sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu
kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman.
Kita hidup di alam yang di batas oleh dimensi ruang-waktu (tiga dimensi
ruang –mudahnya kita sebut panjang, lebar, dan tinggi –, serta satu
dimensi waktu ). Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu.
Dalam kisah Isra’ Mi’raj, Rasulullah bersama Jibril dengan wahana
“Buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada
di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara
detail tentang masjid Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam
perjalanan.
Rasul juga keluar dari dimensi waktu sehingga dapat menembus masa lalu
dengan menemui beberapa Nabi. Di langit pertama (langit dunia) sampai
langit tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam, (2) Nabi Isa dan Nabi
Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi Idris, (5) Nabi Harun, (6) Nabi Musa,
dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga ditunjukkan surga dan neraka,
suatu alam yang mungkin berada di masa depan, mungkin juga sudah ada
masa sekarang sampai setelah kiamat nanti.
Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah
seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar
ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3
adalah ruang. Alam dua dimensi (bidang) dengan mudah menggambarkan alam
satu dimensi (garis). Demikian juga alam tiga dimensi (ruang) dengan
mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang). Tetapi dimensi rendah
tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak
berdimensi tiga tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang
berdimensi dua.
Sekarang bayangkan ada alam berdimensi dua (bidang) berbentuk U. Makhluk
di alam “U” itu bila akan berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya
perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam yang berdimensi
lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke ujung
lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi dua, tanpa
perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”.
Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi
ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan
waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa
melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi
tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi
dua. Bukankah isyarat di dalam Al-Quran dan Hadits juga menunjukkan hal
itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah
tidak ada kematian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai
tempat karena tak di batas oleh ruang.
Rasulullah bersama Jibril diajak ke dimensi malaikat, sehingga
Rasulullah dapat melihat Jibril dalam bentuk aslinya (baca QS 53:13-18).
Rasul pun dengan mudah pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya,
tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks Isra’ Mi’raj pun
bukanlah langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi suatu dimensi
tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti fisik
maupun non-fisik.
|