Pujian
dan sanjungan orang lain kepada kita bukanlah standar apalagi jaminan.
Sebab ketinggian derajat yang hakiki adalah di sisi-Nya. Oleh sebab itu,
tatkala dikabarkan kepada Imam Ahmad oleh muridnya mengenai pujian
orang-orang kepadanya, beliaupun berkata, “Wahai Abu Bakar -nama
panggilan muridnya-, apabila seseorang telah mengenal jati dirinya, maka
tidak lagi bermanfaat ucapan (pujian)
orang lain terhadapnya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil Ilm, hal.
22). Ini adalah Imam Ahmad, seorang yang telah hafal satu juta hadits
dan rela mempertaruhkan nyawanya demi menegakkan Sunnah. Demikianlah
akhlak Ulama terdahulu, aduhai… di manakah posisi kita bila dibandingkan
dengan mereka? Jangan-jangan kita ini tergolong orang yang
maghrur/tertipu dengan pujian orang lain kepada kita. Orang lain mungkin
menyebut kita sebagai ‘anak ngaji’, orang alim, orang soleh, atau
bahkan aktifis dakwah. Namun, sesungguhnya kita sendiri mengetahui
tentang jati diri kita yang sebenarnya, segala puji hanya bagi Allah
yang telah menutupi aib-aib kita di hadapan manusia… Ya Allah, ampunilah
dosa-dosa kami
Sesungguhnya ketaatan itu -meskipun terasa
sulit atau berat bagi jiwa- pasti akan membuahkan manfaat besar yang
kembali kepada pelakunya sendiri. Sebaliknya, kedurhakaan/maksiat itu
-meskipun terasa menyenangkan dan enak- maka pasti akan berdampak jelek
bagi dirinya sendiri. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perkara paling
bermanfaat secara mutlak adalah ketaatan manusia kepada Rabbnya secara
lahir maupun batin. Adapun perkara paling berbahaya baginya secara
mutlak adalah kemaksiatan kepada-Nya secara lahir ataupun batin.”
(al-Fawa’id, hal. 89). Allah ta’ala telah menegaskan (yang artinya),
“Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan
bisa jadi kalian menyenangi sesuatu padahal itu adalah buruk bagi
kalian. Allah Maha mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui -segala
sesuatu-.” (QS. al-Baqarah: 216)
Terkadang manusia menyangka
bahwa sesuatu bermanfaat baginya, namun apabila dicermati dari sudut
pandang syari’at maka hal itu justru tidak bermanfaat. Demikian pula
sebaliknya. Oleh sebab itu alangkah tidak bijak orang yang menjadikan
hawa nafsu, perasaan, ataupun akal pikirannya yang terbatas sebagai
standar baik tidaknya sesuatu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang
menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh.
Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya,
rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai
standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya.
Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah
pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan
larangan-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 89)
Kutipan dari : Yusuf Mansur network