Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang
Sobat: Bulan
Rabi`ul Awwal telah datang. Sebagian
besar umat Islam menyambut dengan riang. Berbagai hajatan dikaitkan
dengan pembacaan maulid. Volume maulid semakin tinggi. Berbagai sajian
kegiatan telah dan akan dilaksanakan untuk mengisi bulan maulid ini.
Anak-anak kecil sampai orang tua tidak mau ketinggalan, menyambut bulan
kelahiran manusia paling mulia, Sayidina Muhammad SAW.
Tiap perkampungan, masjid dan mushalla menyelenggarakan maulid. Di
beberapa daerah, tradisi maulid biasa diupacarai dengan beragam budaya
masyarakat setempat. Bahkan, beberapa tradisi yang mengitari perayaan
maulid menjadi ikon wisata.
Persoalannya, tidak sedikit budaya yang disisipkan dalam bermaulid,
kerap dilakukan dengan mengabaikan rambu-rambu syariat, entah karena
ketidaktahuan atau sudah tahu namun merasa tidak peduli. “Ya, namanya
sudah tradisi, sudah turun temurun seperti ini, mau dibagaimanakan
lagi?” katanya.
Beberapa Kasus Maulid yang Melenceng
Beberapa kasus bermaulid yang kurang elok dapat kita ketahui dengan
mudah lewat media elektronik maupun cetak, atau mungkin diri kita
sendiri menjadi salah satu pelakunya. Di antaranya, tradisi perayaan
maulid yang disisipi dengn lempar kue antar para jama`ah. Satu dengan
yang lain saling melempar kue yang konon dipercayai oleh mereka yang
terlibat dapat mendatangkan rezeki yang berkah.
Kasus lain yang sering terjadi, melakukan maulid dengan petik laut atau
melarung sesaji. Tradisi semacam ini biasanya menyedot perhatian banyak
orang. Para wisatawan lokal maupun mancanegara turut serta di dalamnya,
menyaksikan dan mengabadikannya.
Selain itu, ada masyarakat yang merayakan maulid nabi, lalu ketika maqam
(berdiri) saling berebut uang yang memang sengaja disediakan untuk
jamaa`ah majlis maulid. Laki-laki dan perempuan yang hadir dalam gelaran
maulid tersebut, berebut uang dengan tidak mengindahkan pembacaan
maulid yang tengah berlangsung. Akibatnya, acara maulid menjadi kacau
balau, kalah oleh ‘perlombaan’ mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Lebih dari itu, berdalih mengagungkan maulid nabi, kemudian melakukan
kirab. Kegiatan ini sudah pasti dilakukan dengan menutup jalan umum yang
menyebabkan gangguan atas kenyamanan bagi pengguna jalan yang lain.
Biasanya kirab ini diikuti laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
dengan berboncengan.
Masih banyak kasus lain yang kerap mengurangi kesakralan dan kebaikan
peringatan maulid. Maulid yang dimaksudkan untuk mengenalkan Nabi
Muhammad di relung para pembaca, pendengar, dan hadirin, justru
kehilangan ruhnya ketika disisipi dengan kegiatan-kegiatan yang tidak
baik, melanggar syariat, dan menyampuraduk kebaikan dengan keburukan.
Beragam kasus yang mencoreng nama baik maulid harus menjadi perhatian
semua pihak, khususnya para tokoh agama. Beragam contoh di atas
merupakan tindakan yang tidak elok dan berpotensi mendatangkan
kemaksiatan yang malah dimurkai oleh Allah. Bukan rahmat berkat membaca
shalawat justru sebaliknya.
Melempar kue dan melarung sesaji, termasuk sikap pemborosan yang
dilarang oleh Islam. Terlebih, masih banyak umat Islam yang hidup dalam
keadaan papa. Alangkah baiknya, jika kue dan sesaji tidak dilempar dan
dilarung namun dimakan dengan sewajarnya dan bila memungkinkan turut
mengundang kaum papa, untuk bisa bersama-sama menikmati kue dan sesaji
tersebut dengan riang gembira sebagai ekspresi rasa syukur atas
kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Melarung sesaji sendiri, selain bentuk pemborosan juga dapat
menjerumuskan pelakunya kepada kesyirikan. Larung sesaji sama sekali
tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam, namun tidak lebih sebagai
‘ibadah’ agama lain, sehingga tidak perlu kita tiru, apalagi untuk
mengisi peringatan maulid nabi.
Begitu pula halnya dengan tradisi maulid dengan mendudukkan laki-laki
dan perempuan dalam satu tempat, tanpa penghalang, campur aduk
sedemikian rupa. Seharusnya hal demkian bisa dihindari dengan satir
(penutup) yang memisahkan antara muslimin dan muslimat, layaknya dalam
pelaksanaan shalat berjamaah di masjid.
Mengadakan maulid Nabi dengan bercampurnya laki-laki dan perempuan telah
mendapat tentangan dari Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy`ari. Ketika itu
di malam Senin, 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, beliau melihat para santri di
salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi
perbuatan munkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan,
permainan yang menyerupai judi, senda-gurau, dan lain-lain. Lahirlah
dari tangan beliau kitab yang berjudul At-Tanbihat al-Wajibat liman
Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat (Peringatan-peringatan wajib bagi
penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran) yang
ditulis berdasarkan pengalaman tersebut.
Santun Bermaulid
Menghormati dan memuliakan kelahiran manusia yang paling mulia sejagad,
Nabi Muhammad SAW, harusnya dilakukan dengan cara yang mulia dan penuh
penghormatan. Hal-hal yang mencoreng tradisi maulid, meski dengan niat
memuliakan nabi, sama saja melecehkan junjungan kita ini.
Oleh karena itu, jika kita berniat mengagungkan Maulid Rasulullah SAW
mestinya dilakukan dengan kesantunan, tertib syariat, perhatian terhadap
batasan-batasan dalam sebuah majelis. Terlebih kita meyakini, bahwa ruh
Rasul SAW hadir saat kita maqam, maka kita harus lebih khusyu` dan
penuh ketertundukan.
Imam Malik bin Anas, layak kita jadikan contoh bagaimana kita memuliakan
nabi. Sebelum beliau mengajarkan hadits, beliau selalu mandi terlebih
dahulu, berwudhu, mengenakan surban, duduk dengan tenang, barulah beliau
membacakan hadits. Demikian pula para ulama salafus shaleh lainnya.
Sikap ini lahir demi mengagungkan Rasulullah SAW dan hadits-haditsnya.
Hal yang sama harus kita lakukan saat kita bermaulid, tidak mudah
terbawa arus tradisi yang telah mendarah daging, namun mampu memilah dan
menyeleksinya secara ketat dan kritis. Karenanya, sejak dini kita perlu
memahami tata krama dalam agama dengan baik dan benar, termasuk di
dalam mengadakan maulid nabi.
Bagaimana pun memuliakan nabi tidak dapat dilakukan dengan melupakan
prinsip-prinsip akhlak yang karenanya beliau diutus kepada kita.
Bermaulid tidak bisa dilaksanakan dengan kemaksiatan atau hal-hal yang
dilarang agama.
Jauh lebih penting lagi, maulid hendaknya tidak berhenti pada kegiatan
seremonial belaka yang terulang di tiap hari, pekan, atau tahun. Jauh
dari itu, dengan membaca sirah beliau, kita seharusnya lebih mampu
meneladani kehidupan, menunaikan hak-haknya, serta menjalankan titah dan
ajaran yang telah disampaikan oleh beliau. Kiranya menjadi mubazir,
jika waktu yang telah kita luangkan dan dana yang kita keluarkan untuk
menyelenggarakan peringatan hari lahir nabi, tidak simetris dengan
keteladanan dari diri kita terhadap ajaran Rasul SAW.
|